Senin, 06 April 2009

di 06.41 Label: Diposting oleh Syarbani Blogs

Sebagian orang telah bersikap permisif/berlebih2-an (ifraath) dlm mensikapi keikutsertaan wanita dlm masalah2 politik, sehingga mereka membiarkan para wanita campur-baur (ikhthilaath) dg para laki2 di tempat2 umum tanpa ada batas serta membuka aurat (tabarruj) sehingga keluar dari aturan2 (dhawabith) syar'iyyah
Inilah sikap orang2 yg sekular pd masa ini, sikap seperti ini adalah salah satu bentuk perilaku wanita jahiliyyah sebagaimana kaum musyrikin sebelum Islam, yg disebut oleh DR Muhammad Quthb sebagai Al-Jahiliyyah fil Qarnil 'Isyrin (jahiliyyah abad-20).
Sementara sebagian kelompok lainnya bersikap overprotektif/berkurang2-an (tafriith) dlm mensikapi para wanita muslimah, sehingga seolah2 dunia ini hanyalah milik para laki2 (Rijal), sementara para wanita harus berdiam di rumah, tdk boleh beraktifitas ke luar rumah dan hanya boleh bertemu laki2 asing (ajnabi) 3 kali saja seumur hidupnya, yaitu saat ia dilahirkan (waktu diadakan 'aqiqah-nya), saat ia akan menikah (ta'aruf) & saat ia dibawa ke kuburnya, maka ini adalah sikap kelompok ghulllat (ekstremis), yg menurut DR Yusuf Al-Qaradhawi disebut sebagai zhahiriyyah-jadiidah (neo-tekstualis).

Islam jauh dari kedua sikap ekstrem tsb, Islam mensikapi wanita secara adil & moderat (wasathiyyah) yg jauh dari ifraath maupun tafriith. Demikianlah pemahaman As-Salafus Shalih, dan demikian pula pemahaman AL-IKHWAN kepada peran & posisi wanita dlm Islam. Pd tulisan ini ana berusaha menjawab pertanyaan seorang ukhti al-muslimah ttg keikutsertaan wanita dlm berbagai aktifitas politik, seperti dlm muzhaharah (demonstrasi), dll. Apakah yg demikian itu dibenarkan oleh syariah? Ana akan coba jawab secara ringkas insya ALLAH ta'ala, ALLAHul musta'an..

1.KEIKUTSERTAAN WANITA MUSLIMAH DLM AKTIFITAS POLITIK SAMPAI KE LUAR-NEGERI

"Sesungguhnya orang yg diwafatkan malaikat dlm keadaan menzhalimi dirinya sendiri, Malaikat bertanya : Kenapa kalian ini? Mereka menjawab : Kami adalah orang2 tertindas di negeri ini. Maka kata Malaikat : Bukankah bumi ALLAH itu luas sehingga kalian dpt berhijrah? Orang2 seperti itu tempatnya adalah di neraka Jahannam & Jahannam itu adalah seburuk2 tempat kembali. Kecuali orang2 yg tertindas baik laki2 atau wanita atau anak2 yg tdk mampu & tdk mengetahui jalan untuk berhijrah. Barangsiapa yg keluar dari rumahnya untuk berhijrah kepd ALLAH & Rasul-NYA, lalu ditimpa kematian maka sungguh pahalanya telah tetap disisi ALLAH. Dan ALLAH adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS An-Nisaa', 4/97-100)

Az-Zain Al-Munayyir berkata : Ayat tsb tdk menunjukkan bhw yg lemah & tertindas itu hanya berlaku bagi kaum wanita saja, melainkan ayat tsb menunjukkan adanya persamaan antara lelaki & wanita.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : Wanita2 yg ikut hijrah ke Habasyah (Ethiopia) adalah Ruqayyah (putri Nabi SAW), Sahlah binti Sahl (istri Abu Hudzaifah), Ummu Salamah binti Abu Umayyah (istri Abu Salamah), Lailat binti Abu Hitsmah (istri Amir bin Rabi'ah) . Adapun wanita yg hijrah pd hijrah kedua mencapai 12 orang, diantaranya Ummu Habibah (putri Abu Sufyan), Asma' binti Umais, Haminah binti Khalaf al-Khuza'iyyah .

Dari Marwan & Al-Miswar bin Makhramah ra, keduanya bercerita ttg para sahabat RasuluLLAH SAW, ketika Suhail bin Amru menulis perjanjian pd hari itu (Hudhaibiyyah)... Tdk ada satupun dari kaum laki2 yg datang pd Nabi SAW kecuali beliau SAW kembalikan mereka (pd kaum Qurasiy) pd saat itu juga, meskipun ia seorang muslim. Suatu hari datanglah beberapa orang wanita mu'minat sbg muhajirat, diantaranya Ummu Kultsum binti Abi Mu'aith diantara mereka. Maka datanglah keluarganya meminta agar mereka dikembalikan, tetapi Nabi SAW tdk mengembalikannya kepada mereka .

Aisyah ra bertanya (kepada seorang budak wanita yg selalu berkata : Ketahuilah bhw ALLAH telah menyelamatkanku dari negeri kufur), kata Aisyah ra : Kenapa tiap kali kamu duduk disampingku selalu berkata demikian? Kemudian wanita itu menceritakan kisahnya . Al-Hafizh berkata : Di dlm hadits itu ada dalil yg menyuruh seseorang keluar dr 1 negeri jk ia menghadapi cobaan di negeri tsb ke negeri yg lbh baik baginya, juga terdapat dalil mengenai hijrah dari negeri kufur .

Secara lengkap disebutkan dlm berbagai kitab sejarah As-Salafus Shalih pembahasan ttg hijrahnya sejumlah akhwat ke Madinah, diantaranya Ummu al-Fadhl (istri Al-Abbas), Ummu Salamah binti Abu Umayyah, Laila binti Abu Hitsmah, Umaimah binti Abdul Muthalib, Zainab binti Jahsy, Ummu Habibah binti Jahsy, Judamah binti Jandal, Ummu Qays bintoi Muhshin, Ummu Habibah binti Nabatah, Umamah binti Raqisy, Hafshah binti Umar, Fathimah binti Qays, Subai'ah al-Aslamiyyah & Ummu Ruman. Tepat sekali perkataan Imam az-Zuhri yg menyatakan : "Kami blm pernah mengetahui ttg adanya salah seorang wanita yg murtad dari agamanya setelah mereka berhijrah ."

2.KEIKUTSERTAAN WANITA MUSLIMAH DLM JANJI SETIA PD PEMIMPIN NEGARA YG ISLAMI
"Hai Nabi, jk datang kepadamu wanita2 yg beriman untuk berjanji setia bhw mereka tdk akan syirik pd ALLAH, tdk akan mencuri, tdk akan berzina, tdk akan membunuh anak2 mereka, tdk akan berdusta yg mereka adakan diantara tangan & kaki mereka & tdk akan mendurhakaimu dlm urusan yg baik, maka terimalah janji setia mereka & mohonkanlah ampunan bagi mereka dari ALLAH, sesungguhnya ALLAH MAHA Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Mumtahanah, 60/12)

Janji setia seorang warga masyarakat pd pemimpinnya adalah urusan politik (as-siyasah), jika seadainya Islam menempatkan kaum wanita untuk hanya diam di rumah saja maka mengapakah mereka harus juga diminta untuk ber-janji setia pd pemimpin negaranya? Bukankah berarti saat itu ia harus keluar rumahnya & nampak oleh orang lain yg bukan mahram-nya? Demikianlah Islam mendudukkan hak politik wanita dlm berbagai hal sama dg hak politik laki2 (ana katakan dlm berbagai hal, karena tdk berarti semuanya adalah sama, karena ulama salaf telah sepakat tdk membenarkan wanita menjadi kepala negara, karena demikianlah sebagaimana dlm hadits2 shahih).

Sehingga sikap kita dlm masalah ini adalah mengambil hukum sesuai dg asasnya, lalu melakukan qiyas (analogi) yg benar sesuai illat-nya, tidak memperluasnya tetapi juga tdk menyempitkannya. Demikianlah mawaqif as-salafus-shalih, semoga ALLAH SWT meridhoi mereka semua. Jika dikatakan bhw janji setia dlm ayat ini khusus bagi wanita & berbeda dg janji setia kaum laki2, maka hal tsb tertolak dg hadits shahih yg diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit ra, ia berkata : Suatu hari Nabi SAW berkata dimana disekelilingnya ada sejumlah sahabat ra : "Marilah kalian semua berjanji setia kepadaku, yaitu bhw kalian tdk akan syirik kepada ALLAH dg sesuatupun, tdk akan mencuri, tdk akan berzina, tdk akan membunuh anak2 kalian, tdk akan berdusta yg kalian ada2kan antara tangan & kaki kalian, & tdk akan mendurhakaiku dlm hal kebaikan.." Lalu Ubadah ra berkata : Aku berjanji setia pd beliau SAW berdasarkan ketentuan2 tsb. Demikianlah janji setia para sahabat tsb sama dg janji setia para sahabat wanita (shahabiyyah) dlm ayat di atas. ALLAHu 'alam.

Jika dikatakan bhw janji setia dlm ayat di atas adalah janji setia dlm urusan agama saja & bukan masalah pemerintahan (politik), maka pernyataan tsb tertolak, karena dlm ayat di tsb bukan hanya memuat masalah agama (dlm arti sempit saja), melainkan juga masalah politik (agama dlm arti luas), berdasarkan salah satu isi dari janji setia dlm ayat tsb di atas yaitu : ... DAN MEREKA TDK AKAN MENDURHAKAIMU DLM URUSAN KEBAIKAN.. (QS Al-Mumtahanah, 60/12), dan tafsirnya sebagaimana disebutkan dlm hadits shahih yaitu sabda Nabi SAW : "Ketaatan itu hanya dlm urusan yg baik." Dan ini adalah masalah kepemimpinan dlm negara & politik. Ini juga diperkuat dg berbagai peristiwa politik dlm sirah nabi SAW lainnya yg mengikutsertakan para wanita, diantaranya hadits keikutsertaan janji setia para wanita Anshar dlm peristiwa 'Aqabah kedua, yaitu Ummu 'Ammarah binti Ka'ab (wanita bani Mazin) & Asma binti Amr bin
Adi (salah seorang wanita Bani Salamah) –semoga ALLAH SWT meridhoi mereka berdua- . ALLAHu a'lam.

Jk dikatakan : Benar, kami setuju bhw para wanita tsb berjanji setia dlm urusan politik bukan hanya urusan agama, tapi tetap kepergian mereka untuk berjanji setia tsb semuanya adalah bersama para suaminya, jadi tidak merupakan hak mereka secara individu. Maka ana katakan bhw pernyataan inipun tertolak oleh atsar yg shahih, diantaranya berdasarkan riwayat dari Imam At-Thabari dari Ibnu Abbas ra : "Demi ALLAH, mereka pergi bukan karena benci pd suaminya, demi ALLAH mereka pergi bukan karena tidak suka pd negerinya lalu ingin pindah ke luar negeri, demi ALLAH mereka pergi bukan karena mengejar dunia, demi ALLAH mereka tidak pergi selain karena mencintai ALLAH & Rasul-NYA." Dlm atsar ini dijelaskan secara eksplisit bhw sebagian mereka pergi dg tanpa suaminya, sehingga janji setia tsb adalah untuk diri mereka sendiri. ALLAHu a'lam

3.KEIKUTSERTAAN WANITA DLM JIHAD FII SABILILLAH

"Sesungguhnya laki2 & wanita yg muslim, laki2 & wanita yg mu'min, laki2 & wanita yg taat, laki2 & wanita yg benar, laki2 & wanita yg sabar, laki2 & wanita yg khusyu, laki2 & wanita yg bershadaqah, laki2 & wanita yg shaum, laki2 & wanita yg memelihara kehormatannya, laki2 & wanita yg banyak mengingat ALLAH, maka ALLAH telah menyiapkan bagi mereka ampunan & pahala yg besar." (QS Al-Ahzab, 33/35)

Imam Ibnu Katsir dlm tafsirnya menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas ra bhw ayat ini turun berkenaan dg pertanyaan para wanita : Mengapa dlm Al-Qur'an disebutkan para laki2 sementara para wanita tdk? Maka turunlah ayat ini. Imam Al-Qurthubi menambahkan dlm tafsirnya bhw makna al-qanuut diantaranya adalah ath-tha'aat fil makrah wal mansyath (ketaatan baik dlm malas maupun semangat).

Islam tdk membedakan kaum muslimah dg kaum muslimin dlm jihad melawan kuffar, dlm hadits yg diriwayatkan oleh seorang sahabat wanita terkemuka Ar-Rubayyi' binti Mu'awwidz ra berkata : "Kami pernah bersama nabi SAW dlm peperangan, kami bertugas memberi minum para prajurit, melayani mereka, mengobati yg terluka, & mengantarkan yg terluka kembali ke Madinah." Jika dikatakan bhw hadits tsb hanya dlm peperangan yg dekat2 dg Madinah saja & tdk ke luar negeri, maka hal tsb terbantah dg hadits Ummu Haram ra, yg diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra , dimana ia berkata : Nabi SAW bersabda : "Sejumlah orang dari ummatku menawarkan dirinya sebagai pasukan mujahid fi sabiliLLAH. Mereka mengarungi permukaan lautan bagaikan raja2 di atas singgasananya."
syariat (adabusy-syar'iyyah), seperti tdk bersentuhan lelaki dg wanita, tdk saling memandang & menikmati, atau bercanda dg yg bukan mahram-nya, dst. Demikian ukhti al-muslimah, ALLAHu a'lamu bish Shawab...

Lalu tiba2 Ummu Haram ra berkata : Ya RasuluLLAH, doakan saya termasuk diantara mereka itu. Lalu Nabi SAW mendoakannya... Maka ketahuilah jk hal tsb (berjihad) terlarang bagi para wanita, maka tidaklah Nabi SAW akan mendoakan Ummu Haram ra, yg jihadnya tsb sampai jauh ke luar negeri. ALLAHu a'lam

Ketahuilah ikhwah wa akhwat fiLLAH sekalian, jika jihad perang (qital) saja dibolehkan bagi para wanita, apalagi yg lebih rendah bahayanya dari itu, seperti ikut serta mendengarkan pidato politik dari pemimpin di lapangan/tempat terbuka, sebagaimana hadits AbduLLAH bin Rafi' dari Ummu Salamah ra bhw suatu ketika Ummu Salamah ra sedang disisir, lalu terdengar Nabi SAW berseru dari atas mimbar : "Ayyuhan Naas!" Maka Ummu Salamah ra berkata pd tukang sisirnya : Rapikan segera rambutku ! Pembantunya berkata : Seruan itu hanya untuk kaum laki2 & bukan kaum wanita. Maka jawab Ummu Salamah ra : Aku juga adalah seorang manusia (an-naas)!

Jika dikatakan bhw hukum tsb khusus untuk mendengar pidato politik dari qiyadah-'ulya (pemimpin negara) saja & bukan pemimpin selainnya, maka hal tsb dibantah oleh hadits Zainab ra dlm diskusinya dg khalifah Abubakar ra yg diriwayatkan oleh Qays bin Abu Hazim ra dimana ia ra bertanya : Siapakah yg disebut para pemimpin itu? Jawab Abubakar ra : Bukankah kaummu memiliki para pembesar & tokoh yg apabila mereka memerintahkan sesuatu lalu kaumnya mentaatinya? Jawab Zainab : Ya, benar. Kata Abubakar ra : Mereka itulah pemimpin bagi semua orang.

Jk dikatakan bhw mengapa AL-IKHWAN membiarkan para akhwat muslimah ikut memutuskan masalah2 politik & tdk memberikan hak tsb sepenuhnya pd laki2? Maka ana jawab bhw hal tsbpun sering dilakukan pd masa Nabi SAW & Salafus Shalih, diantaranya yg paling terkenal adalah saran Ummu Salamah ra pd Nabi SAW dlm mengatasi masalah politik (yaitu ketidaktaatan para sahabat ra) di hari Hudhaibiyyah , lalu saran Ummu Sulaim ra pd Nabi SAW saat peperangan Hunain , dll. Jk dikatakan bhw hal tsb khusus bagi Nabi SAW saja, maka ana jawab tidak demikian, lihat juga hadits saran Hafshah ra pd saudaranya (Ibnu Umar ra) setelah peristiwa penusukan Umar ra di mesjid , juga sarannya saat perang antara Ali ra & Mu'awiyyah ra , teguran Asma binti Abubakar ra pd Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi . ALLAHu a'lam.

Demikianlah, sebagian hadits & atsar salafus shalih dlm masalah ini (musyarakah siyasiyyah lin nisaa'/keterlibatan wanita dlm masalah politik) baik di dalam ruangan (seminar, diskusi politik, memutuskan perkara2 politik ummat) maupun di luar ruangan (berdemonstrasi, dsb), bahkan para sahabat ra tidak mengingkari keterlibatan Ummul Mu'minin ra dlm peperangan Jamal, & sebagian diantara mereka ikut dlm pasukannya . Sepanjang semua itu dilakukan dg menjaga etika


0 komentar:

Posting Komentar